Minggu, 20 Juni 2021

Kedaulatan / Kehendak Allah

Ketika membahas mengenai keputusan kehendak dan pemilihan Allah, sangat penting untuk mengakui bahwa Allah tetaplah Allah, yang berarti bahwa Ia tidak perlu mempertanggungjawabkan tindakan-tindakan-Nya kepada siapa pun. Semua makhluk ciptaan berada di bawah-Nya, dan Dia berbuat segala sesuatu kepada mereka sesuai dengan yang dikehendaki-Nya.[1]

Pantai
Ilustrasi Wahyu Umum dan Alam
© Foto oleh Pexels dari Pixabay / Pantai
  

Teologi Reformed sangat menekankan kedaulatan Allah. Dia berdaulat atas segala hal dalam pengertian bahwa Ia berkuasa, mengontrol, serta menentukan segala hal termasuk mempredestinasikan siapa yang diberinya anugerah keselamatan dan siapa yang ditolak.[2] Allah itu bebas (yakni tidak dibatasi oleh apa pun selain oleh kehendak bebas-Nya sendiri), untuk berkehendak merancang, dan bertindak sesuai dengan diingini-Nya. Hal ini disebut dengan kehendak Allah yang berdaulat.[3]


Sebagai keberadaan yang bereksistensi diri, Allah menghendaki diri-Nya sebagai tujuan-Nya. Dia memerintah diri-Nya sendiri di dalam pengertian bahwa Dia sepenuhnya memerintah diri-Nya sendiri. Ini tidak boleh dipahami secara nominalistis. Allah tidak bisa bereksistensi dengan cara yang lain daripada sebagaimana adanya Dia bereksistensi. Dia juga ada suatu propensio in se ipsum (propensitas terhadap diri-Nya sendiri) dan suatu propensio in creatures (propensitas terhadap ciptaan-ciptaan-nya).[4]


Kehendak Allah secara Umum

Alkitab memakai beberapa kata untuk menunjukkan kehendak Allah, yaitu kata bahasa Ibrani chaphets, tsebhu, dan ratson dan kata bahasa Yunani boule dan thelema. Kepentingan dari kehendak Allah muncul dalam banyak hal dalam Alkitab. Kehendak Allah ini disebut sebagai penyebab final dari segala sesuatu. yakni : penciptaan dan pemeliharaan (Mzm. 135 : 6; Yer. 18:6; Why. 4:11, pemerintahan Ams. 21:1; Dan. 4:35, pemilihan dan reprobasi, Rom. 9:15,16; Ef. 1:11; penderitaan Kristus, Luk. 22:42; Kis. 2:23, kelahiran baru Yak. 1:18, penyucian , Fil 2:13, penderitaan orang percaya, 1 Pet. 3:17; Hidup dan masa depan manusia, Kis. 18:21; Rom. 15:32; Yak. 4:15, dan bahkan hal terkecil dalam hidup, Mat. 10:29.[5]


Kehendak Allah dapat didefinisikan sebagai kesempurnaan dari Jati diriNya di mana Ia, dalam tindakan yang paling sederhana menuju pada DiriNya sendiri sebagai kebaikan yang tertinggi (yaitu bersukacita dalam diriNya sendiri) dan menuju pada makhlukNya demi namaNya sendiri, dan dengan demikian merupakan dasar dari keberadaan mereka dan eksistensi yang dilanjutkan.[6]



Kehendak Allah Dekrit (Decretive Will)

Kehendak Dekrit bisa disebut dengan kehendak rahasia Allah (God’s secret will) atau kehendak rencana. Kehendak yang berkaitan dengan rencana kekal-Nya ini bersifat pasti terjadi, karena itu disebut sebagai kehendak dekrit.[7]


Di dalam pengetahuan dan kebijaksanaan-Nya yang sempurna, Allah telah merencanakan segala sesuatu di dalam kekekalan, dan seluruh rencana tersebut sudah ditetapkan sehingga memiliki kepastian mutlak. Kehendak dekrit ini mengalir dari pengetahuan dan kebijaksana-Nya yang sempurna dan kekal.[8]

Salib Kristus
Salib Kristus
© Foto Oleh Gerd Altmann dari Pixabay / Salib
  

Kehendak Allah Memberi Wawasan (Preceptive Will)

Kehendak yang bersifat memberikan wawasan (Preceptive Will), yang bisa disebut juga sebagai perintah, adalah kehendak yang sudah dinyatakan Allah di dalam wahyu umum dan terutama wahyu khusus (Alkitab). Kehendak perintah Allah lahir dari sifat kebaikan dan kekudusan-Nya. Oleh karena sifatnya adalah perintah atau mengajar serta memberikan wawasan, maka kehendak ini mungkin tidak terlaksana di dalam diri makhluk moral-Nya yang diberi kehendak bebas.[9]


Sebagai contoh, Alkitab berkata bahwa Allah menghendaki supaya setiap orang percaya memberitakan Injil, tetapi banyak orang percya tidak memberitakan injil. Jadi, kehendak perintah Allah tidak mesti terjadi.[10]


Kehendak Allah yang Penting (Niscaya)

Kehendak penting Allah adalah kehendak yang memang harus demikian dan tidak ada pilihan lain. Sebagai contoh, Allah Bapa tidak bisa memilih antara memperanakkan Anak atau tidak memperanakkan. Yang pasti bahwa Allah Bapa memperanakkan Allah Anak dalam kekekalan tanpa pilihan lain. Hal yang sama terjadi juga dengan keluarnya Roh Kudus dari Bapa dan Anak. Kehendak penting Allah ini berkaitan dengan karya Allah dalam diri-Nya (opera ad intra).[11]


Kehendak Allah yang Bebas (Free will)

Kehendak Bebas Allah adalah kehendak yang tidak terikat oleh apa pun kecuali oleh Natur-Nya sendiri. Allah bisa memilih untuk menciptakan dunia dan segala isinya atau tidak menciptakan sama sekali. Dia bebas untuk memilih menebus atau tidak menebus orang berdosa. Dalam hal penciptaan, pemeliharaan, predestinasi, dan penebusan, Allah benar-benar bebas. Allah adalah tetap Allah, apakah Dia berkehendak atau tidak berkehendak melakukan hal-hal di atas. Kehendak Bebas Allah ini berkaitan dengan karya Allah di luar diri-Nya (opera ad extra).[12]


Kehendak Allah yang bebas ini,  melawan berbagai pandangan asumsi monistis pihak Non-Kristen. Melawan Theisme, Panteisme, Sebab Allah bebas untuk menciptakan dunia ini, bebas untuk berkontribusi bagi kemuliaan-Nya. Dia menciptakan sesuai dengan natur-Nya yang adalah Allah.[13]


Kehendak Allah “Rahasia”

Disebut “rahasia” bukan karena manusia sama sekali tidak mengetahuinya. Sebagian besar kehendak rahasia Allah telah direalisasikan, dan, sebagaimana adanya, diwahyukan. Tetapi manusia tidak bisa mengetahuinya terlebih dahulu. Dan bahkan ini bukan sepenuhnya benar, karena manusia, misalnya, bisa mengetahui secara umum bahwa Allah akan membawa tujuan-Nya kepada kemenangan. Tetapi manusia tidak bisa mengetahui secara persis dan secara mendetail apa yang akan Allah jadikan.[14]


Kehendak Allah Bersifat Komprehensif

Kehendak Allah adalah sumber dari segala substansi dan kuasa di dalam alam semesta ciptaan. Kehendak Allah bersifat komprehensif. Setiap hal diderivasikan darinya :[15] Penciptaan (Why. 4:11), Pemerintahan (Ef. 1:11), Penderitaan Kristus (Luk. 22:42), Pilihan dan Reprobasi (Rm. 9:15), Kelahiran kembali (Yak. 1:18), Pengudusan (Flp. 2:13), Penderitaan orang percaya (1 Ptr. 3:17), dan keseluruhan hidup dan nasib kita di dalam perkara-perkara kecil (Yak. 4:15; Kis. 18:21 ; Mat 10:29).[16]


Kehendak Allah adalah Mutlak

Kehendak Allah Mutlak. Distingsi yang dibuat antara kehendak Allah yang mutlak dan kehendak Allah yang kondisional tidak terterapkan kepada kehendak Allah yang rahasia, karena kehendak yang rahasia tidak sepenuhnya memberi tahu kita bagaimana kehendak Allah akan direalisasikan. Kehendak ini mengatakan bahwa semua perkara akan terjadi sesuai rencana Allah, tetapi tidak sepenuhnya mengindikasikan cara bagaimana hal ini akan terjadi.[17]


Kemutlakan kehendak Allah terimplikasikan di dalam kemutlakan natur Allah, dan di dalam komprehensivitas kehendak Allah. Kehendak Allah tidak mungkin komprehensif jika tidak mutlak, dan kehendak Allah tidak mungkin mutlak jika tidak komprehensif.[18]


Kehendak Allah adalah Satu Unit

Kehendak Allah adalah Satu Unit. Distingsi antara kehendak Allah yang anteseden dan yang konsekuen tidak terterapkan kepada kehendak Allah yang rahasia. Hal ini tidak bisa dilakukan, kecuali jika kehendak Allah merupakan tindakan temporal. Jika dikatakan bahwa distingsi ini menunjuk kepada suatu urutan logis dan bukan temporal, distingsi ini mungkin tidak salah, tetapi distingsi ini secara historis dibuat demi memasukkan yang temporal ke dalam yang kekal, dan ini tidak diterima oleh Gereja.[19]


Kedaulatan Kuasa Allah

Hal ini bersangkut-paut dengan Kuasa-Nya di dalam melaksanakan kehendak-Nya yang sudah dibicarakan di atas. Kedaulatan kuasa Allah adalah mutlak dan sempurna. Dia berkuasa mengontrol, mengarahkan, menundukkan, dan memimpin segala sesuatu sesuai dengan kehendak-Nya. Tidak satu pun yang tidak berada di bawah wibawa, penguasaan, dan kontrol-Nya.[20]


Kuasa Kedaulatan Allah dinyatakan bukan saja dari kehendak-Nya tetapi juga dalam kemahakuasaan-Nya atau dalam kuasa untuk melaksanakan kehendak-Nya. Kuasa dalam diri Allah dapat disebut sebagai energi efektif dari naturNya, atau kesempurnaan dari JatidiriNya yang olehnya Allah adalah kausalitas yang mutlak dan tertinggi. Biasanya dibedakan antara potentia Dei absoluta (kuasa absolut AllaH0 dan potentia Dei ordinata (kekuasaan Allah yang teratur).[21]


Alkitab di satu pihak mengajarkan tentang kekuatan Allah yang melampaui apa yang sesungguhnya disadari, Kej. 18:14; Yer. 32:27; Zak 8:6; mat. 3:9; 26:53. Jika kita dapat mengatakan bahwa apa yang tidak dinyatakan Allah tidaklah mungkin baginya. Akan tetapi di pihak lain Alkitab juga mengindikasikan ada banyak hal yang Allah tidak dapat dilakukan. Allah tidak dapat berdusta, berdosa, berubah, atau menyangkali diriNya sendiri, Bil. 23:19; 1 Sam. 15:29; 2 Tim 2:13; Ibr. 6:18; Yak. 1:13, 17. Tidak ada kekuatan mutlak dalam diriNya yang terpisah dari kesempurnaanNya, dan dari sudut pandang bahwa Allah dapat melakukan segala sesuatu yang bertentangan.[22]

Alkitab
Alkitab
© Foto oleh Pexels dari Pixabay / Alkitab

Tujuan Kedaulatan Allah adalah untuk Kemuliaan-Nya

Jika Allah berdaulat mutlak atas segala hal, di dalam kehendak dan kuasaNya, maka segala hal tentu ditujukan hanya untuk melayani diri-Nya. Karena itu dapat dikatakan bahwa tujuan segala sesuatu diciptakan yang olehnya Allah berdaulat secara mutlak, tidak mungkin untuk sesuatu hal atau pribadi di luar diri-Nya, tetapi untuk kemuliaan-Nya sendiri.[23]


Perhatikan bahwa di akhir nubua singkat nabi Obaja tertulis “maka TUHANlah yang akan empunya kerajaan itu.” (Ob. 1;21). Maka benarlah doksologi yang ditulis oleh Paulus dalam Roma 11:36, “Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia; bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!”[24]


Referensi :

Cornelius van Til,  Pengantar Theologi Sistematik,  (Surabaya : Momentum,  2015),  446 - 452

G. J. Baan,  TULIP,  (Surabaya : Momentum,  2009),  38 - 39

Louis Berkhof,  Teologi Sistematika 1 : Doktrin Allah,  (Surabaya : Momentum,  2021),  129, 130, 136, 138

Muriwali Yanto Matalu, Dogmatika Kristen,  (Malang : Gerakan Kebangunan Kristen Reformed,  2017),  227, 230 - 233, 236



----

[1] G. J. Baan,  TULIP,  (Surabaya : Momentum,  2009),  38

[2] Muriwali Yanto Matalu, Dogmatika Kristen,  (Malang : Gerakan Kebangunan Kristen Reformed,  2017),  227

[3] G. J. Baan,  op cit,  39

[4] Cornelius van Til,  Pengantar Theologi Sistematik,  (Surabaya : Momentum,  2015),  446

[5] Louis Berkhof,  Teologi Sistematika 1 : Doktrin Allah,  (Surabaya : Momentum,  2021),  129

[6] Ibid,  130

[7] Muriwali Yanto Matalu, Dogmatika Kristen,  (Malang : Gerakan Kebangunan Kristen Reformed,  2017),  230

[8] Ibid,  230

[9] Ibid,  231

[10] Ibid,  231

[11] Ibid,  232 - 233

[12] Ibid,  233

[13] Cornelius van Til,  Pengantar Theologi Sistematik,  (Surabaya : Momentum,  2015),  450 - 451

[14] Ibid,  447 - 448

[15] Ibid,  448

[16] Ibid,  448 - 449

[17] Ibid,  452

[18] Ibid,  452

[19] Ibid,  452

[20] Muriwali Yanto Matalu,  Dogmatika Kristen,  (Malang : Gereja Kebangunan Kristen Reformed, 2017), 236

[21] Louis Berkhof,  Teologi Sistematika 1 : Doktrin Allah, (Surabaya : Momentum,  2021),  136

[22] Ibid,  138

[23] Muriwali Yanto Matalu,  Dogmatika Kristen,  (Malang : Gereja Kebangunan Kristen Reformed, 2017), 236

[24] Ibid,  236 

Load comments