Di dalam membahas kekudusan Allah, kita bisa memulai kembali pada poin kecukupan-Nya pada diri-Nya sendiri. Musa berkata dalam Keluaran 15:11 ; “Siapakah yang seperti Engkau di antara para allah, ya TUHAN; Siapakah seperti Engkau, mulia karena kekudusan-Mu, menakutkan karena perbuatan-Mu yang masyhur, Engkau pembuat Keajaiban?” Lalu Hana memuji Allah pada 1 Sam 2:2. Dan Nabi Amos mengungkapkan mengenai Kekudusan Allah pada Amos 4:2.[1]
Alkitab © Foto oleh Pexels dari Pixabay / Alkitab |
Kekudusan Allah bersandar pada eksistensi diri-Nya yang tidak ada bandingnya. Allah tidak memiliki kekudusan, melainkan adalah kekudusan/kesucian itu. Dengan demikian, dengan kekudusan Allah kita merujuk kepada kemurnian moral internal yang mutlak yang Allah miliki. Wajar untuk berharap bahwa ketika atribut Allah ini mengungkapkan dirinya di dalam wahyu Allah kepada manusia, atribut ini menuntut kemurnian-Nya yang seutuhnya.[2]
Kata Ibrani untuk suci adalah “quadash” yang berasal dari akar kata qad, yang artinya adalah “memotong” atau “memisahkan”. Kata ini ada di dalam Perjanjian Lama merujuk kepada Allah. Dalam bahasa Yunani dalam Perjanjian Baru diungkapkan dengan kata hagiazo dan hagios. Kata-kata ini merujuk kepada satu posisi atau hubungan yang ada antara Allah dengan orang-oran atau benda-benda tertentu.[3]
a. Natur Kekudusan
Ide alkitabiah dari kekudusan Allah mencakup dua hal. Dalam makna aslinya kekudusan Allah ini menunjukkan bahwa Ia mutlak berbeda dari semua makhlukNya, dan Ia ditinggikan jauh diatas manusia dalam kemuliaan yang tiada batas. Kesucian Allah dapat disebut sebagai “Kesucian mulia” Allah, Beberapa ayat antara lain : Kel. 15:11; 1 Sam. 2:2; Yes. 57:15; Hos. 11:9.[4]
Akan tetapi kekudusan Allah memiliki implikasi etis secara khusus dalam Alkitab. Ide etis tentang kesucian Allah tidak boleh dilepaskan dari pemahaman-pemahaman tentang kesucian-kemuliaan Allah. Ide etis kesucian Allah juga berkenaan dengan pemisahan, dan dalam hal ini pemisahan berarti pemisahan dari kejahatan dan dosa. (Ayub 34:10; Hab. 1:13). Kesucian etis Allah ini dapat didefinisikan sebagai kesempurnaan Allah, di mana Ia secara kekal berkehendak dan senantiasa menjaga kemuliaan moralNya, membenci dosa, dan menuntut kemurnian dari makhluk-makhluk yang bermoral.[5]
b. Manifestasinya
Kesucian Allah dinyatakan dalam hukum moral, yang tertanam dalam hati manusia, dan berbicara melalui hati nurani, dan lebih tertentu lagi, melalui wahyu khusus Allah. Kesucian Allah ini jelas terlihat dalam hukum yang diberikan kepada bangsa Israel. Hukum itu dalam segala aspek diperhitungkan dalam segala hal akan menanamkan pengertian kepada bangsa Israel pemahaman akan kesucian Allah dan mendorong bangsa itu untuk menyadari perlunya hidup yang kudus.[6]
Wahyu yang terutama dinyatakan dalam diri Tuhan Yesus yang disebut sebagai “Yang Kudus dan Benar”, Kis. 3:14 Yesus menyatakan dalam seluruh hidupNya kesempurnaan kekudusan Allah. Akhirnya, kekudusan Allah juga dinyatakan di dalam Gereja sebagai tubuh Kristus.[7]
Referensi :
Cornelius van Til, Pengantar Theologi Sistematik, (Surabaya : Momentum, 2015), 442 - 443
Louis Berkhof, Teologi Sistematika 1 : Doktrin Allah, (Surabaya : Momentum, 2021), 122 - 124
---
[1] Cornelius van Til, Pengantar Theologi Sistematik, (Surabaya : Momentum, 2015), 442
[2] Ibid, 442 - 443
[3] Louis Berkhof, Teologi Sistematika 1 : Doktrin Allah, (Surabaya : Momentum, 2021), 122
[4] Ibid, 122 - 123
[5] Ibid, 124
[6] Ibid, 124
[7] Ibid, 125