Selasa, 06 Juli 2021

Allah Tritunggal : Kesatuan dan Keberagaman serta Persekutuan

Para filsuf sepanjang zaman banyak mendiskusikan tentang kesatuan (unity) dan keragaman (diversity), atau dalam bahasa van Til yaitu problema satu (one) dan banyak (many). Tetapi ketika para filsuf mencari hakekat kesatuan maupun keragamanan, atau mencoba menekankan yang satu diatas yang lainnya, mereka sebenarnya hanya menemukan sejumlah abstraksi yang tidak memiliki makna apa pun.[1]

Pantai
Allah Tritunggal Menciptakan Alam
© Foto oleh Pexels dari Pixabay / Pantai
 

Pandangan Para Filsuf

Thales (624 – 546 SM) berkata bahwa air adalah prinsip awal dari segala kehidupan. Anaximandros (611 – 546 SM) berpendapat bahwa api dan air tidak bisa diperdamaikan. Sehingga dia menyatakan prinsip yang abstraks dengan namanya to apeiron “Yang tidak terbatas”. Anaximenes (585 – 525 SM) mengembalikan semua benda alam ke sebuah anasir alam, yakni udara yang merupakan prinsip dasar.[2] Disini kita bisa pergulatan mengenai prinsip kesatuan dan keberagaman.


Lalu Heraklitus berkata bahwa segal sesuatu berubah kecuali perubahan itu sendiri. Disini Heraklitus berbicara mengenai keragamanan. Sedangkan Parmenides berkata bahwa apa pun yang ada itu pasti ada. Dengan kata lain Parmenides menyangkal perubahan dan menekankan kesatuan.[3]


Plato membedakan adanya dua dunia, yakni dunia ide yang bersifat rasional dan dunia ini yaitu dunia jasmani yang hanya terbuka bagi panca indera. Dunia ide bersifat tetap dan tidak mengalami perubahan dan kenisbian. Sedangkan perubahan dan kenisbian terjadi dalam dunia indrawi yang memang selalu memperlihatkan ketidakmantapan tanpa henti. Disini Plato mempergunakan perumpamaan dua dunia ini melalui gua.[4] Disini Plato sedang berbicara mengenai kejamakan dalam dunia inderawi dan kesatuan di dalam dunia ide.[5]


Kesatuan dan Keberagaman

Dalam Diri Allah Tritunggal, prinsip Kesatuan dan keragaman (yang mati-matian ingin diketahui para filsuf), dan persekutuan (yang diusahakan orang Kristen) mendapatkan jawaban yang tuntas. Kesatuan dan keragaman dalam Tritunggal pertama-tama menyangkut kesatuan natur dan keragaman sifat-sifat-Nya. Kedua, kesatuan natur dan keragaman pribadi-Nya.[6]


Sebelum kita melihat kesatuan dan keragaman dalam Tritunggal secara khusus, kita terlebih dahulu melihat bahwa prinsip kesatuan dan keragaman merupakan prinsip yang mutlak ada pada Allah maupun ciptaan. Jika kita menekankan kesatuan atau yang “satu” saja maka itu bukanlah apa-apa. Itu adalah nihil. Sebaliknya, jika kita hanya menekankan keragaman saja, maka itu hanyalah sebuah kekacauan  atau bahkan nihil.[7]


Dan permasalahan filsafat tentang “satu” dan “banyak” hanya mendapatkan solusi dalam Tritunggal, demikian menurut van Til karena Tritunggal adalah pribadi yang mutlak. Maksud Van Til jelas, yakni, bahwa mencari hakekat segala sesuatu tidak mungkin terdapat dalam alam sendiri secara otonomi, tetapi terdapat pada Allah yang berada pada diri-Nya dan yang merupakan Pribadi yang mutlak.[8]


Allah adalah riil, kesatuan hakekat-Nya adalah riil, dan juga pribadi-pribadi-Nya adalah riil, dimana hakekat Allah (Kesatuan-Nya) berada secara sempurna pada pribadi-pribadi-Nya (keragaman-Nya), dan sebaliknya, pribadi-pribadi-Nya berada secara sempurna dalam hakekat-Nya, maka dalam Tritunggal kita benar-benar mendapatkan kesatuan (universal) yang riil dan juga benar-benar mendapatkan keragaman (partikularitas) yang sama riil-nya.[9]


Persekutuan dalam Allah Tritunggal

Dalam keragaman pribadi Tritunggal yang berada dalam satu kesatuan tersebut terdapat satu persekutuan yang hidup, di mana masing-masing Pribadi saling bersekutu, saling berkomunikasi, dan saling mengasihi satu yang lainnya.[10]


Harus saya tambahkan bahwa keragaman Pribadi Tritunggal hanya tiga. Mengapa hanya tiga? Hal ini disebabkan oleh karena sebuah persekutuan mutlak hanya memunculkan tiga pihak. Persekutuan kasih memang bisa diwujudkan oleh hanya dua pihak. Serta persekutuan kasih itu bersifat ketigaan (trinal).[11]


Itulah sebabnya angka tiga merupakan angka persekutuan (fellowship) dan inilah yang menjadi alasan mengapa keragaman Pribadi Tritunggal hanya tiga, tidak kurang dan tidak lebih.[12]


Referensi :

Muriwali Yanto Matalu,  Apologetika Kristen,  (Malang : Gerakan Kebangunan Kristen Reformed,  2018),  49 - 54

Muriwali Yanto Matalu,  Dogmatika Kristen,  (Malang : Gerakan Kebangunan Kristen Reformed,  2017),  254 - 255, 259 

Simon Petrus L. Tjahjadi,  Petualangan Intelektual,  (Yogyakarta : Kanisius, 2016), 21 -23, 50 - 53


----

[1] Muriwali Yanto Matalu,  Apologetika Kristen,  (Malang : Gerakan Kebangunan Kristen Reformed,  2018),  50

[2] Simon Petrus L. Tjahjadi,  Petualangan Intelektual,  (Yogyakarta : Kanisius, 2016), 21 -23

[3] Muriwali Yanto Matalu,  Apologetika Kristen,  (Malang : Gerakan Kebangunan Kristen Reformed,  2018),  49

[4] Simon Petrus L. Tjahjadi,  Petualangan Intelektual,  (Yogyakarta : Kanisius, 2016), 50 - 53

[5] Muriwali Yanto Matalu,  Apologetika Kristen,  (Malang : Gerakan Kebangunan Kristen Reformed,  2018),  50

[6] Muriwali Yanto Matalu,  Dogmatika Kristen,  (Malang : Gerakan Kebangunan Kristen Reformed,  2017),  254

[7] Ibid, 254 - 255

[8] Muriwali Yanto Matalu,  Apologetika Kristen,  (Malang : Gerakan Kebangunan Kristen Reformed,  2018),  53 - 54

[9] Ibid, 54

[10] Muriwali Yanto Matalu,  Dogmatika Kristen,  (Malang : Gerakan Kebangunan Kristen Reformed,  2017),  259

[11] Ibid, 259

[12] Ibid, 259

Load comments