Dapat dikatakan bahwa di sini kita menghadapi apa yang di biasanya disebut sebagai suatu paradoks, yaitu suatu kombinasi dari dua pemikiran yang tampaknya berkontradiksi satu sama lain.
![]() |
Salib Kristus © Foto oleh Gordon Johnson dari Pixabay / Salib |
Berikut beberapa konsep paradoks dalam kebenaran Alkitab, yaitu :
- Di satu sisi Allah yang harus menguduskan kita secara keseluruhan, tetapi di satu sisi lain kita harus mengerjakan pengudusan kita dengan menyempurnakan kekudusan kita.
- Bahwa Allah memiliki kedaulatan mutlak atas hidup kita, mengarahkan kepada sesuai dengan kehendak-Nya, namun sebaliknya kita juga diharuskan untuk membuat keputusan kita sendiri dan harus bertanggung jawab atasnya.[1]
Namun sangat penting dalam kehidupan kita, kita harus percaya bahwa kedua sisi pemikiran yang tampak berkontradiksi ini adalah benar, karena Alkitab mengajarkan keduanya.[2] Misalnya :
Kedaulatan Allah (Ams. 21:1, Ef. 1:11, Rm. 9:21), akan tetapi satu sisi mengajarkan tanggung jawab manusia (Yoh. 3:36, Mat. 16:27, Why. 22:12).
Di satu sisi terhadap dua aspek kebenaran Alkitab yang muncul bersamaan, seperti Lukas 22:22 dan Kisah Para Rasul 2:23. Allah sesungguhnya telah menetapkan kematian Kristus; akan tetapi orang yang mengkhianati-Nya dan mereka yang membunuh-Nya harus bertanggung jawab atas perbuatan keji mereka.[3]
Argumen Para Teolog
Kebutuhan untuk menerima kebenaran paradoks ini telah diakui oleh banyak teolog Reformed. John Calvin yang sangat jelas, bahwa Calvin menurut Edward Dowery, bersedia mengombinasikan doktrin-doktrin yang jika berdiri sendiri-sendiri jelas, tetapi yang secara logika tidak akan selaras satu dengan yang lain, karena dia menemukannya di dalam Alkitab.[4]
J. I. Packer, teolog Anglikan menjelaskan :
Alkitab mengajarkan kedaulatan Allah dan tanggung jawab manusia secara berdampingan : terkadang bahkan dalam bagian Alkitab yang sama. Keduanya benar karena dijamin oleh otoritas Ilahi yang sama, sehingga keduanya harus diterima dan tidak saling dipertentangkan. Manusia adalah makhluk moral yang bertanggung jawab, meski dia juga dikendalikan Allah; Manusia dikendalikan Allah meski ia juga adalah makhluk moral yang bertanggung jawab. Baik kedaulatan Allah maupun tanggung jawab manusia merupakan fakta.[5]
Bahkan sang Teolog Vernon Grounds mengemukana hal ini sebagai berikut “... Dalam kekristenan, sebagaimana saya mengerti, paradoks bukanlah suatu konsesi : paradoks merupakan kategori yang tak terelakkan, suatu kebutuhan mutlak – suatu kebutuhan logis! Jika kita ingin benar-benar setia kepada Alkitab.” Bahkan diakhiri dengan kata-kata “Marilah kita dengan berani menegakkan “kebenaran-kebenaran yang tampaknya saling bertentangan.”. ... Dengan hal ini, kita menyatakan kesetiaan kita kepada Alkitab.”[6]
Kesimpulan
Karenanya kita harus menegaskan baik kedaulatan Allah maupun tanggung jawab manusia; baik anugerah Allah yang berdaulat maupun partisipasi aktif kita dalam proses keselamatan. Kita baru dapat dikatakan bersikap setia terhadap Alkitab jika kita dengan tegas berpegang kepada kedua paradoks. Tetapi karena Allah adalah Pencipta dan kita adalah ciptaan-Nya, maka Allah pasti lebih utama. Karenanya kita harus mempertahankan bahwa faktor yang paling menentukan di dalam proses keselamatan kit adalah anugerah Allah yang berdaulat.[7]
Daftar Pustaka :
Anthony A. Hoekema, Diselamatkan Oleh Anugerah, (Surabaya : Momentum, 2017), 4 - 7
------
[1] Anthony A. Hoekema, Diselamatkan Oleh Anugerah, (Surabaya : Momentum, 2017), 4
[2] Ibid, 4
[3] Ibid, 5
[4] Ibid, 5
[5] Ibid, 6
[6] Ibid, 6 - 7
[7] Ibid, 7